Chủ Nhật, 21 tháng 6, 2009

SUARA MAHASISWA PUNCAK JAYA

Honei: Transisi Hutan-Hunian Lembah Baliem, Suku Asmat - Dani
arnus 17 Agustus 2007 (Memperingati hari lahirnya bumi pertiwi)
Catatan Probo Hindarto:
Suku Asmat-Dani, dalam upaya mengangkat pengetahuan tentang suku di bumi Papua ini, tim arnus mengetengahkan sekelumit cerita tentang hierarki berarsitektur dari suku tersebut. Dalam masyarakat pedalaman ini, harmoni terwujud melalui sebuah tata cara hidup yang berakar dari peran laki-laki dan peran perempuan, dimana dari sifat-sifat yang berbeda antara keduanya menumbuhkan sebuah konstruksi sosial. Dari konstruksi sosial ini, pola-pola berhuni muncul dan menjadi sebuah pola ber-arsitektur, dalam kosmos yang paling ideal menurut mereka. Hal ini sangat alami.

Sebutan “Dani” untuk kelompok masyarakat yang menghuni Lembah Baliem sebenarnya diberikan oleh orang Amerika dan Belanda untuk orang Moni yang bermukim di dataran tinggi Paniai (Moni: orang asing). Kata moni ini selanjutnya berubah menjadi ndani untuk mereka yang tinggal di Baliem. Penduduk lembah Baliem sendiri menyebut diri mereka "nut akuni pallimeke" (kami dari Baliem).


Permukiman Suku Dani di Lembah Baliem. Alam liar Jayawijaya yang dingin dan berhutan lebat adalah “rumah” mereka. Usilimo merupakan kumpulan honei (hunian) kelompok komunitas yang memiliki ikatan keluarga. Aturan-aturan pengelolaan alam dan masyarakat berpusat di dalamnya.
(Sumber:http://mahasiswapuncakjayab.blogspotcom


Prajurit-prajurit Dani, tak hanya tangguh di darat tetapi juga di perairan

Hutan-hutan lebat di Pegunungan Jayawijaya adalah “rumah” Suku Dani. Mereka hidup dari berburu / meramu hasil hutan dan sungai sekitar kampung mereka. Hutan rimba dan alam Baliem yang heterogen membentuk laki-laki Dani menjadi “prajurit-prajurit” tangguh. Mereka adalah ahli-ahli “kehutanan” yang gagah berani dalam mempertahankan “rumah”nya dari gangguan pihak asing. Pelanggaran zona dan aturan-aturan adat oleh pihak asing akan dihadapi prajurit-prajurit Dani, hingga memungkinkan terjadinya peperangan (wim abiyokoi). Namun demikian mereka juga mengenal perdamaian (kong gualim) sebagai penyelesaian perselisihan.

Di samping memanfaatkan hasil hutan, kesuburan tanah lembah Baliem berpotensi untuk diolah lanjut. Untuk itulah Suku Dani membuka hutan menjadi ladang-ladang pertanian. Pembukaan hutan menjadi ladang dan penjagaan keamanannya adalah tugas laki-laki Dani. Sedangkan penanaman dan pemeliharaan tanaman, yang lebih memerlukan kepekaan perasaan terhadap alam menjadi tugas kaum wanita. Pembagian tugas ini terejawantah pula dalam permukiman mereka. Tugas membuka hutan menjadi permukiman, membangun rumah, dan menjaga ketenteramannya adalah tugas kaum laki-laki. Memelihara hunian seisinya, termasuk “menumbuh-kembangkankan” generasi penerus adalah tugas kaum wanita. Inikah konsep kesepasangan dalam “menaklukkan” alam liar Baliem?

Dari Sili Menjadi Teritori

Suku Dani tinggal dalam kelompok-kelompok yang masih memiliki hubungan kekerabatan dalam sebuah usilimo/sili. Beberapa sili yang berdekatan biasanya memiliki kedekatan hubungan kekerabatan. Kelompok sili yang terbentuk karena hubungan darah atau yang terbentuk atas dasar persatuan teritorial dan politik membentuk kampung.
Kampung dipimpin oleh seorang Kepala Suku didampingi seorang Panglima Perang. Pentingnya kedudukan Panglima Perang dalam struktur kehidupan masyarakat Dani menunjukkan tingginya tingkat kewaspadaan masyarakat terhadap berbagai gangguan atas ketenteraman yang mereka bina dalam lingkungannya. Ini karena mereka tinggal di daerah hutan dengan tingkat kerawanan yang tinggi. Gangguan itu bisa datang dari binatang buas, bencana alam, atau kelompok manusia lain. Perang (wim abiyokoi) merupakan salah satu wujud tingginya tingkat kewaspadaan masyarakat hutan Baliem terhadap pelanggaran norma-norma adat suatu suku oleh kelompok lain. Penghargaan yang tinggi terhadap panglima perang yang sudah meninggal dan dipandang berjasa besar diwujudkan dengan mengawetkan jasad mereka dalam bentuk mumi.


Suasana usilimo, harmoni manusia-- alam dan manusia--manusia. Sili merupakan daerah hutan yang “ditandai dan dimaknai” sehingga menjadi kawasan budidaya manusia. Dari dalamnyalah manusia-manusia Dani mengelola alam lingkungannya


Batas teritorial permukiman Suku Dani terbagi atas tiga wilayah. Daerah terluar adalah hutan di bawah “kewenangan pengelolaan” suatu suku. Dalam masyarakat Dani, kaum laki-lakilah yang banyak berhubungan dengan keliaran rimba Baliem. Norma-norma adat yang mengatur pengelolaan hutan di wilayah ini misalnya aturan mengenai binatang yang boleh diburu, kayu yang boleh ditebang untuk membuat rumah, larangan membuang sampah dan kotoran apapun di sungai, dan bagian hutan yang boleh dibuka untuk permukiman dan perladangan baru, biasanya dituangkan dalam bentuk mitos-mitos yang dikaitkan dengan hal-hal mistik. Pelanggaran atas zona pengelolaan oleh pihak asing akan dihadapi laki-laki Dani sehingga mengakibatkan perang suku.

Batas pengelolaan kedua adalah ladang. Pembukaan hutan menjadi ladang (perubahan hutan liar menjadi lingkungan yang diolah potensinya) adalah tugas kaum pria. Apabila ladang sudah siap ditanami, maka kaum wanita Danilah yang menanam bibit tanaman, seperti hipere (ubi) dan talas. Selanjutnya wanita Dani pula yang memelihara tanaman ladang hingga dapat dipetik hasilnya.

Saat ini sayur mayur banyak ditanam di ladang. Hasilnya sebagian dijual para wanita ke pasar. Pada awalnya kegiatan ini tidak berorientasi pada keuntungan ekonomis, melainkan untuk kepentingan sosialisasi saja. Biasanya hasil ladang ditukar dengan babi. Suku Dani adalah masyarakat subsisten yang menggantungkan kehidupannya pada kekayaan yang diberikan alam di sekitarnya. Kegiatan jual-beli hasil ladang merupakan kegiatan baru masyarakat Dani.




Membangun honei adalah tugas para lelaki Dani. Tugas itu mereka kerjakan secara bergotong royong. Tradisi ini masih hidup hingga saat ini


Usilimo/sili merupakan zona inti permukiman Dani, yang dihuni oleh sebuah keluarga. Usilimo terbentuk dari hutan yang sudah dibuka, diolah dan ditata menurut jalinan potensi alam dan sosial budaya lokal Tidak sembarang orang dapat memasuki zona ini. Ini terlihat dari pagar kayu rapat berketinggian 8-12 meter yang mengelilingi usilimo (disebut leget). Satu-satunya pintu masuk adalah mokarai. Mokarai berhadapan langsung dengan honei (rumah) kepala keluarga.

Aktifitas-aktifitas berhuni banyak dilakukan di dalam sili. Seperti halnya dalam kegiatan perladangan, pembukaan hutan menjadi sili, membangun rumah (honei) dan fasilitas lainnya, serta penjagaannya dilakukan oleh kaum pria. Kegiatan domestik dan hubungan-hubungan intern keluarga menyangkut kegiatan penumbuh-kembangan generasi, banyak dilakukan oleh kaum ibu yang notabene lebih memiliki kepekaan perasaan dibandingkan kaum pria. Tampaknya leget sebagai penanda fisik yang sangat tegas dan kuat pada usilimo juga merupakan salah satu bentuk kewaspadaan Suku Dani terhadap gangguan pihak asing atas ketenteraman seluruh anggota keluarga. Meskipun sehari-hari para wanita bekerja di ladang di luar batas usilimo, tetapi mereka masih dalam lingkup penjagaan prajurit-prajurit Dani.

Harmoni dalam Usilimo

Setiap sili/usilimo terdiri dari beberapa kelompok honei yaitu honei laki-laki (pilamo), honei wanita (ebe-ae/enai), dapur (hunila/hunu) dan kandang babi (wam dabula). Honei berasal dari kata hun yang berarti laki-laki dewasa, dan ai yang berati rumah. Honei adalah sebutan umum untuk rumah. Sangat boleh jadi penyebutan dengan mengetengahkan unsur “laki-laki dewasa” itu menunjukkan unsur “kepemilikan” atau “kepala keluarga”. Untuk mepertegas eksistensi laki-laki sebagai kepala keluarga, benda-benda berharga termasuk harta benda dan pusaka turun temurun (misalnya jimat/kaneke, kalung, untaian kerang/jetak eken atau walimo eken, dan mikhak) disimpan di dalam pilamo. Kadang-kadang babi pun dimasukkan dalam pilamo karena babi juga merupakan harta berharga perlambang status sosial dan simbol yang dipakai dalam upacara adat.


Pesta bakar batu, diadakan setelah tercapai perdamaian (kong gualim). Pada pesta ini mereka membakar babi dan bahan makanan lain untuk dimakan bersama-sama.

Rumah wanita (biasanya dihuni oleh seorang ibu, anak-anak dan kerabat wanitanya) disebut ebe-ae atau ebai. “Ebe” artinya tubuh dalam arti hadir, tetapi juga bermakna utama, pusat, sentral. Di ruang pusat atau utama inilah awal mula proses kehadiran atau kelahiran serta penumbuh-kembangan generasi penerus Suku Dani. Bentuk perhatian dan kasih sayang demi terbentuknya generasi penerus yang mumpuni salah satunya dituangkan dalam mitos yang menyebutkan bahwa hubungan suami-istri tabu dilakukan oleh ibu yang sedang hamil, menyusui, dan yang sedang mengasuh anak batita (di bawah tiga tahun). Di atas usia tiga tahun, seorang anak sudah lebih mandiri sehingga ibu bisa membagi perhatiannya pada anak yang lahir berikutnya. Terhalang oleh mitos yang kontradiksi dengan kebutuhan laki-laki Dani akan kelembutan wanita, maka diperbolehkan seorang laki-laki memiliki istri lebih dari satu. Istri-istri itu hidup bersama dalam sebuah sili namun dalam ebe-ae yang berbeda.

Berbeda dengan honei yang berdenah lingkaran, hunila (dapur) dan wam dabula (kandang babi) berdenah persegi panjang. Letak hunila berdekatan dengan ebe-ae. Di dalamnya terdapat beberapa tungku, masing-masing tungku untuk seorang ibu.

Demi keamanan harta keluarga, wam dabula terletak di dekat pilamo. Daging babi, minyak, dan bagian-bagian tubuh tertentu (misalnya telinga dan ekor) dipergunakan untuk upacara dan pesta adat. Tulang rahang babi biasanya digantung di dalam pilamo sebagai penanda status sosial. Jumlah babi menunjuk-kan tingkat kekayaan keluarga; babi dipergunakan sebagai mas kawin.

Halaman tengah sili (hikno) merupakan ruang berkumpul. Pesta dan upacara-upacara adat seperti upacara kematian dan kremasi jenazah, upacara kelahiran, perayaan kemenangan, dan sebagainya dilakukan di sini. Upacara adat biasanya diikuti bakar batu yaitu membakar babi dan bahan makanan lain untuk disantap bersama-sama.

Tata susunan sili menunjukkan harmoni hubungan sosial masyarakat di dalamnya dalam upaya mengelola lingkungan makro yang berhubungan dengan hutan rimba Baliem hingga lingkungan mikro keluarga. Perubahan ladang menjadi lahan budidaya padi dan kopi menggeser aktifitas mereka dari hutan ke ladang, dari sistem ekonomi subsisten ke sistem ekonomi modern. Kini mereka cenderung hidup menetap di suatu tempat dengan lingkungan keamanan yang lebih kondusif. Pergeseran ruang-aktifitas ini jarang dibarengi perubahan pelaku. Yang muncul selanjutnya adalah ketidaksetimbangan peran laki-laki dan wanita sehingga wanitalah yang tampak sibuk di ladang.

Perubahan aktifitas masyarakat Dani kini, membuka pula sekat-sekat ruang tradisional yang memberi peluang pada perubahan sosio kultural. Pandangan modernisme yang berupaya mem-”beradab”-kan keprimitifan Suku Dani seringkali tidak disertai penanganan menyeluruh. Pembakaran kaneke, jimat, dan benda-benda keramat lain serta rekontekstualisasi wim abiyokoi menjadi “sekedar” atraksi eksotis bagi wisatawan dan peneliti, sesungguhnya telah mengurai helaian benang yang terajut dalam tatanan budaya lokal. Kini hanya Suku Dani Lembah yang masih bertahan dalam tradisi mereka, karena kepercayaan bahwa merekalah yang menjadi cikal bakal Suku Dani dan diberi amanah nenek moyang untuk bertahan dalam tradisi. Sementara generasi muda Dani di kelompok lain sudah tak banyak lagi yang memahami nilai luhur budayanya.

Không có nhận xét nào:

Đăng nhận xét